Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas
Allah Ta’ala telah memuji ilmu dan pemiliknya serta mendorong
hamba-hamba-Nya untuk berilmu dan membekali diri dengannya. Demikian
pula Sunnah Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang suci.
Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyyah (wafat th. 751 H) rahimahullaah
menyebutkan lebih dari seratus keutamaan ilmu syar’i. Di buku ini
penulis hanya sebutkan sebagian kecil darinya. Di antaranya:
1. Kesaksian Allah Ta’ala Kepada Orang-Orang Yang Berilmu
Allah Ta’ala berfirman,
شَهِدَ اللَّهُ أَنَّهُ لَا إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ وَالْمَلَائِكَةُ وَأُولُو
الْعِلْمِ قَائِمًا بِالْقِسْطِ ۚ لَا إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ الْعَزِيزُ
الْحَكِيمُ
“Allah menyatakan bahwasanya tidak ada ilah (yang berhak diibadahi
dengan benar) melainkan Dia, Yang menegakkan keadilan. Para Malaikat dan
orang-orang yang berilmu (juga menyatakan yang demikian itu). Tidak ada
ilah (yang berhak diibadahi dengan benar) melainkan Dia, Yang
Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.” [Ali ‘Imran: 18]
Pada ayat di atas Allah Ta’ala meminta orang yang berilmu bersaksi
terhadap sesuatu yang sangat agung untuk diberikan kesaksian, yaitu
keesaan Allah Ta’ala... Ini menunjukkan keutamaan ilmu dan orang-orang
yang berilmu. [1]
Selain itu, ayat di atas juga memuat rekomendasi Allah tentang kesucian dan keadilan orang-orang yang berilmu.
Sesungguhnya Allah hanya akan meminta orang-orang yang adil saja untuk
memberikan kesaksian. Di antara dalil yang juga menunjukkan hal ini
adalah hadits yang masyhur, bahwasanya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi
wa sallam bersabda.
يَحْمِلُ هَذَا الْعِلْمَ مِنْ كُلِّ خَلَفٍ عُدُوْلُهُ، يَنْفُوْنَ عَنْهُ
تَحْرِيْفَ الْغَالِيْنَ، وَانْتِحَالَ الْمُبْطِلِيْنَ، وَتَأْوِيْلَ
الْجَاهِلِيْنَ.
“Ilmu ini akan dibawa oleh para ulama yang adil dari tiap-tiap generasi.
Mereka akan memberantas penyimpangan/perubahan yang dilakukan oleh
orang-orang yang ghuluw (yang melampaui batas), menolak kebohongan
pelaku kebathilan (para pendusta), dan takwil orang-orang bodoh.” [2]
2. Orang Yang Berilmu Akan Allah Angkat Derajatnya
Allah Subhanahu wa Ta’ala mengabarkan secara khusus tentang diangkatnya
derajat orang yang berilmu dan beriman. Allah Ta’ala berfirman.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قِيلَ لَكُمْ تَفَسَّحُوا فِي
الْمَجَالِسِ فَافْسَحُوا يَفْسَحِ اللَّهُ لَكُمْ ۖ وَإِذَا قِيلَ
انشُزُوا فَانشُزُوا يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنكُمْ
وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ ۚ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ
خَبِيرٌ
“Wahai orang-orang yang beriman! Apabila dikatakan kepadamu: ‘Berilah
kelapangan dalam majelis’, maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi
kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan: ‘Berdirilah kamu’, maka
berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di
antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.
Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” [Al-Mujaadilah : 11]
[3]
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ اللهَ يَرْفَعُ بِـهَذَا الْكِتَابِ أَقْوَامًا وَيَضَعُ بِهِ آخَرِينَ.
“Sesungguhnya Allah mengangkat dengan Al-Qur-an beberapa kaum dan Allah pun merendahkan beberapa kaum dengannya.” [4]
Di zaman dahulu ada seseorang yang lehernya cacat, dan ia selalu menjadi
bahan ejekan dan tertawaan. Kemudian ibunya berkata kepadanya,
“Hendaklah engkau menuntut ilmu, niscaya Allah akan mengangkat
derajatmu.” Sejak itulah, orang itu belajar ilmu syar’i hingga ia
menjadi orang alim, sehingga ia diangkat menjadi Qadhi (Hakim) di Makkah
selama 20 (dua puluh) tahun. Apabila ada orang yang berperkara duduk di
hadapannya, maka gemetarlah tubuhnya hingga ia berdiri. [5]
Orang yang berilmu dan mengamalkannya, maka kedudukannya akan diangkat
oleh Allah di dunia dan akan dinaikkan derajatnya di akhirat.
Imam Sufyan bin ‘Uyainah (wafat th. 198 H) rahimahullaah mengatakan,
“Orang yang paling tinggi kedudukannya di sisi Allah di antara
hamba-hamba-Nya adalah para Nabi dan ulama.” [6]
Allah pun telah berfirman tentang Nabi Yusuf ‘alaihis salaam:
نَرْفَعُ دَرَجَاتٍ مَّن نَّشَاءُ ۗ وَفَوْقَ كُلِّ ذِي عِلْمٍ عَلِيمٌ
“...Kami angkat derajat orang yang Kami kehendaki, dan diatas setiap
orang yang berpengetahuan itu ada lagi yang Maha Mengetahui.” [Yusuf:
76]
Disebutkan bahwa tafsir ayat di atas adalah bahwasanya Kami (Allah)
mengangkat derajat siapa saja yang Kami kehendaki dengan sebab ilmu.
Sebagaimana Kami telah mengangkat derajat Yusuf ‘alaihis salaam di atas
saudara-saudaranya dengan sebab ilmunya.
Lihatlah apa yang diperoleh oleh Nabi ‘Isa ‘alaihis salaam berupa
pengetahuan (ilmu) terhadap Al-Kitab, Hikmah, Taurat dan Injil.
Dengannyalah Allah Ta’ala mengangkatnya kepada-Nya, mengutamakannya
serta memuliakannya. Demikian juga apa yang diperoleh pemimpin anak Adam
(yaitu Nabi Muhammad) shallallaahu ‘alaihi wa sallam berupa ilmu yang
Allah sebutkan sebagai suatu nikmat dan karunia.
Allah Ta’ala berfirman:
وَأَنزَلَ اللَّهُ عَلَيْكَ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَعَلَّمَكَ مَا لَمْ
تَكُن تَعْلَمُ ۚ وَكَانَ فَضْلُ اللَّهِ عَلَيْكَ عَظِيمًا
“... Dan (juga karena) Allah telah menurunkan Kitab (Al-Qur-an) dan
hikmah (As-Sunnah) kepadamu dan telah mengajarkan kepadamu apa yang
belum engkau ketahui. Karunia Allah yang dilimpahkan kepadamu sangat
besar.” [An-Nisaa’: 113] [7]
3. Orang Yang Berilmu Adalah Orang-Orang Yang Takut Kepada Allah
Allah mengabarkan bahwa mereka adalah orang-orang yang takut kepada
Allah Ta’ala, bahkan Allah mengkhususkan mereka di antara manusia dengan
rasa takut tersebut. Allah berfirman:
إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ
“... Di antara hamba-hamba Allah yang takut kepada-Nya hanyalah para ulama.” [Faathir: 28]
Ibnu Mas’ud Radhiyallaahu ‘anhu berkata, “Cukuplah rasa takut kepada
Allah itu disebut sebagai ilmu. Dan cukuplah tertipu dengan tidak
mengingat Allah disebut sebagai suatu kebodohan.” [8]
Imam Ahmad rahimahullaah berkata, “Pokok ilmu adalah rasa takut kepada
Allah.” [9] Apabila seseorang bertambah ilmunya, maka akan bertambah
rasa takut-nya kepada Allah.
4. Ilmu Adalah Nikmat Yang Paling Agung
Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan beberapa nikmat dan karunia-Nya
atas Rasul-Nya (Nabi Muhammad) shallallaahu ‘alaihi wa sallam, dan
menjadikan nikmat yang paling agung adalah diberikannya Al-Kitab dan
Al-Hikmah, dan Allah mengajarkan beliau apa yang belum diketahuinya.
Allah berfirman:
وَأَنزَلَ اللَّهُ عَلَيْكَ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَعَلَّمَكَ مَا لَمْ
تَكُن تَعْلَمُ ۚ وَكَانَ فَضْلُ اللَّهِ عَلَيْكَ عَظِيمًا
“... Dan (juga karena) Allah telah menurunkan Kitab (Al-Qur-an) dan
hikmah (As-Sunnah) kepadamu dan telah mengajarkan kepadamu apa yang
belum engkau ketahui. Karunia Allah yang dilimpahkan kepadamu sangat
besar.” [An-Nisaa’: 113] [10]
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أَلاَ إِنِّيْ أُوْتِيْتُ الْكِتَابَ وَمِثْلَهُ مَعَهُ...
“Ketahuilah, sesungguhnya aku diberikan Al-Kitab (Al-Qur-an) dan yang sepertinya (As-Sunnah) bersamanya...” [11]
5. Faham Dalam Masalah Agama Termasuk Tanda-Tanda Kebaikan
Dalam ash-Shahiihain dari hadits Mu’awiyah bin Abi Sufyan (wafat th. 78
H) radhiyallaahu ‘anhu, ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ يُرِدِ اللهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِي الدِّيْنِ
“Barangsiapa dikehendaki kebaikan oleh Allah, maka Dia akan memberikan pemahaman agama kepadanya.” [12]
Ini menunjukkan bahwa orang yang tidak diberikan pemahaman dalam
agamanya tidak dikehendaki kebaikan oleh Allah, sebagaimana orang yang
dikehendaki kebaikan oleh Allah, maka Dia menjadikannya faham dalam
masalah agama. Dan barangsiapa yang diberikan pemahaman dalam agama,
maka Allah telah menghendaki kebaikan untuknya. Dengan demikian, yang
dimaksud dengan pemahaman (fiqh) adalah ilmu yang mengharuskan adanya
amal. [13]
Imam an-Nawawi (wafat th. 676 H) rahimahullaah mengatakan, “Di dalam
hadits ini terdapat keutamaan ilmu, mendalami agama, dan dorongan
kepadanya. Sebabnya adalah karena ilmu akan menuntunnya kepada ketaqwaan
kepada Allah Ta’ala.” [14]
6. Orang Yang Berilmu Dikecualikan Dari Laknat Allah
Imam at-Tirmidzi (wafat th. 249 H) rahimahullaah meriwayatkan dari Abu
Hurairah (wafat th. 57 H) radhi-yallaahu ‘anhu, ia berkata, “Aku
mendengar Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَلاَ إِنَّ الدُّنْيَا مَلْعُوْنَةٌ مَلْعُوْنٌ مَا فِيْهَا إِلَّا ذِكْرُ اللهِ وَمَا وَالَاهُ وَعَالِـمٌ أَوْ مُتَعَلِّمٌ.
“Ketahuilah, sesungguhnya dunia itu dilaknat dan dilaknat apa yang ada
di dalamnya, kecuali dzikir kepada Allah dan ketaatan kepada-Nya, orang
berilmu, dan orang yang mempelajari ilmu.’” [15]
7. Menuntut Ilmu Dan Mengajarkannya Lebih Utama Daripada Ibadah Sunnah Dan Wajib Kifayah
Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
فَضْلُ الْعِلْمِ خَيْرٌ مِنْ فَضْلِ الْعِبَادَةِ وَخَيْرُ دِيْنِكُمُ الْوَرَعُ.
“Keutamaan ilmu lebih baik daripada keutamaan ibadah, dan agama kalian yang paling baik adalah al-wara’ (ketakwaan).” [16]
‘Ali bin Abi Thalib (wafat th. 40 H) Radhiyallaahu ‘anhu berkata, “Orang
yang berilmu lebih besar ganjaran pahalanya daripada orang yang puasa,
shalat, dan berjihad di jalan Allah.” [17]
Abu Hurairah Radhiyallaahu ‘anhu berkata, “Sungguh, aku mengetahui satu
bab ilmu tentang perintah dan larangan lebih aku sukai daripada tujuh
puluh kali melakukan jihad di jalan Allah.” [18]
Aku (Ibnul Qayyim) katakan, “Ini -jika shahih- maknanya adalah: lebih
aku sukai daripada jihad tanpa ilmu, karena amal tanpa ilmu kerusakannya
lebih banyak daripada baiknya.” [19]
Al-Hasan rahimahullaah berkata, “Orang yang berilmu lebih baik daripada
orang yang zuhud terhadap dunia dan orang yang bersungguh-sungguh dalam
beribadah.” [20]
Sufyan ats-Tsauri (wafat th. 161 H) rahimahullaah mengatakan, “Aku tidak
mengetahui satu ibadah pun yang lebih baik daripada mengajarkan ilmu
kepada manusia.” [21]
Imam asy-Syafi’i (wafat th. 204 H) rahimahullaah mengatakan, “Tidak ada
sesuatu pun yang lebih baik setelah berbagai kewajiban syari’at daripada
menuntut ilmu syar’i.” [22]
8. Ilmu Adalah Kebaikan Di Dunia
Mengenai firman Allah Ta’ala,
رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً
“Wahai Rabb kami, berilah kami kebaikan di dunia”
Al-Hasan (wafat th. 110 H) rahimahullaah berkata, “Yang dimaksud kebaikan dunia adalah ilmu dan ibadah.” Dan firman Allah,
وَفِي الْآخِرَةِ حَسَنَةً
“Dan kebaikan di akhirat.” [Al-Baqarah: 201]
Al-Hasan rahimahullaah berkata, “Maksudnya adalah Surga.”
Sesungguhnya kebaikan dunia yang paling agung adalah ilmu yang
bermanfaat dan amal yang shalih, dan ini adalah sebaik-baik tafsir ayat
di atas. [23]
Ibnu Wahb (wafat th. 197 H) rahimahullaah berkata, “Aku mendengar Sufyan
ats-Tsauri rahimahullaah berkata, ‘Kebaikan di dunia adalah rizki yang
baik dan ilmu, sedangkan kebaikan di akhirat adalah Surga.’” [24]
9. Ilmu Adalah Jalan Menuju Kebahagiaan
Imam Ahmad dan at-Tirmidzi meriwayatkan hadits dari Shahabat Abu
Kabasyah al-Anmari (wafat th. 13 H) radhiyallaahu ‘anhu, ia berkata,
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
... إِنَّمَا الدُّنْيَا لِأَرْبَعَةِ نَفَرٍ: عَبْدٍ رَزَقَهُ اللهُ
مَالًا وَعِلْمًا فَهُوَ يَتَّقِي فِيْهِ رَبَّهُ وَيَصِلُ فِيْهِ
رَحِـمَهُ وَيَعْلَمُ ِللهِ فِيْهِ حَقًّا فَهَذَا بِأَفْضَلِ
الْـمَنَازِلِ، وَعَبْدٍ رَزَقَهُ اللهُ عِلْمًا وَلَـمْ يَرْزُقْهُ مَالًا
فَهُوَ صَادِقُ النِّـيَّـةِ يَقُوْلُ: لَوْ أَنَّ لِـيْ مَالًا
لَعَمِلْتُ بِعَمَلِ فُلاَنٍ فَهُوَ بِنِيَّتِهِ فَأَجْرُهُـمَا سَوَاءٌ،
وَعَبْدٍ رَزَقَهُ اللهُ مَالاً وَلَـمْ يَرْزُقْهُ عِلْمًـا فَهُوَ
يَخْبِطُ فِي مَالِهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ لَا يَتَّقِي فِيْهِ رَبَّهُ وَلَا
يَصِلُ فِيْهِ رَحِـمَهُ وَلَا يَعْلَمُ ِللهِ فِيْهِ حَقًّا فَهَذَا
بِأَخْبَثِ الْـمَنَازِلِ وَعَبْدٍ لَـمْ يَرْزُقْهُ اللهُ مَالًا وَلَا
عِلْمًـا فَهُوَ يَقُولُ: لَوْ أَنَّ لِـيْ مَالًا لَعَمِلْتُ فِيْهِ
بِعَمَلِ فُلاَنٍ فَهُوَ بِنِيَّتِهِ فَوِزْرُهُـمَا سَوَاءٌ.
“...Sesungguhnya dunia diberikan untuk empat orang: (1) seorang hamba
yang Allah berikan ilmu dan harta, kemudian dia bertaqwa kepada Allah
dalam hartanya, dengannya ia menyambung sila-turahmi, dan mengetahui hak
Allah di dalamnya. Orang tersebut kedudukannya paling baik (di sisi
Allah). (2) Seorang hamba yang Allah berikan ilmu namun tidak diberikan
harta, dengan niatnya yang jujur ia berkata, ‘Seandainya aku memiliki
harta, aku pasti mengerjakan seperti apa yang dikerjakan si fulan.’ Ia
dengan niatnya itu, maka pahala keduanya sama. (3) Seorang hamba yang
Allah berikan harta namun tidak diberikan ilmu. Lalu ia tidak dapat
mengatur hartanya, tidak bertaqwa kepada Allah dalam hartanya, tidak
menyambung silaturahmi dengannya, dan tidak mengetahui hak Allah di
dalamnya. Kedudukan orang tersebut adalah yang paling jelek (di sisi
Allah). Dan (4) seorang hamba yang tidak Allah berikan harta tidak juga
ilmu, ia berkata, ‘Seandainya aku memiliki harta, aku pasti mengerjakan
seperti apa yang dikerjakan si fulan.’ Ia berniat seperti itu dan
keduanya sama dalam mendapatkan dosa.” [25]
Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam membagi penghuni dunia menjadi empat
golongan. Golongan yang terbaik di antara mereka adalah orang yang
diberikan ilmu dan harta; ia berbuat baik kepada manusia dan dirinya
sendiri dengan ilmu dan hartanya. [26]
10. Menuntut Ilmu Akan Membawa Kepada Kebersihan Hati, Kemuliaannya, Kehidupannya, Dan Cahayanya
Sesungguhnya hati manusia akan menjadi lebih bersih dan mulia dengan
mendapatkan ilmu syar’i dan itulah kesempurnaan diri dan kemuliaannya.
Orang yang menuntut ilmu akan bertambah rasa takut dan taqwanya kepada
Allah. Hal ini berbeda dengan orang yang disibukkan oleh harta dan
dunia, padahal harta tidak membersihkan dirinya, tidak menambah sifat
kesempurnaan dirinya, yang ada hatinya akan menjadi tamak, rakus, dan
kikir.
Sesungguhnya mencintai ilmu dan mencarinya adalah akar segala ketaatan,
sedangkan mencintai harta dan dunia adalah akar berbagai kesalahan yang
menjerumuskan ke Neraka.
Setiap Muslim dan Muslimah harus mengetahui bahwa orang yang menuntut
ilmu adalah orang yang bahagia karena ia mendengarkan ayat-ayat
Al-Qur-an, hadits-hadits Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, dan
perkataan para Shahabat. Dengannya hati terasa nikmat dan akan membawa
kepada kebersihan hati dan kemuliaan.
11. Orang Yang Menuntut Ilmu Akan Dido’akan Oleh Rasulullah Shallallaahu ‘Alaihi Wa Sallam
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam mendo’akan orang-orang yang
mendengarkan sabda beliau dan memahaminya dengan keindahan dan
berserinya wajah. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
نَضَّرَ اللهُ امْرَأً سَمِعَ مِنَّا حَدِيْثًا فَحَفِظَهُ حَتَّى
يُبَلِّغَهُ غَيْرَهُ؛ فَإِنَّهُ رُبَّ حَامِلِ فِقْهٍ لَيْسَ بِفَقِيْهٍ،
وَرُبَّ حَامِلِ فِقْهٍ إِلَى مَنْ هُوَ أَفْقَهُ مِنْهُ، ثَلَاثُ خِصَالٍ
لَا يُغِلُّ عَلَيْهِنَّ قَلْبُ مُسْلِمٍ أَبَدًا: إِخْلَاصُ الْعَمَلِ
ِلِله، وَمُنَاصَحَةُ وُلاَةِ الْأَمْرِ، وَلُزُوْمُ الْـجَمَاعَةِ؛
فَإِنَّ دَعْوَتَهُمْ تُحِيْطُ مِنْ وَرَائِهِمْ. وَقَالَ: مَنْ كَانَ
هَمُّهُ الْآخِرَةَ؛ جَمَعَ اللهُ شَمْلَهُ، وَجَعَلَ غِنَاهُ فِيْ
قَلْبِهِ، وَأَتَتْهُ الدُّنْيَا وَهِيَ رَاغِمَةٌ، وَمَنْ كَانَتْ
نِيَّتُهُ الدُّنْيَا؛ فَرَّقَ اللهُ عَلَيْهِ ضَيْعَتَهُ، وَجَعَلَ
فَقْرَهُ بَيْنَ عَيْنَيْهِ، وَلَـمْ يَأْتِهِ مِنَ الدُّنْيَا إِلَّا مَا
كُتِبَ لَهُ.
“Semoga Allah memberikan cahaya pada wajah orang yang mendengarkan
sebuah hadits dari kami, lalu menghafalkannya dan menyampaikannya kepada
orang lain. Banyak orang yang membawa fiqih namun ia tidak memahami.
Dan banyak orang yang menerangkan fiqih kepada orang yang lebih faham
darinya. Ada tiga hal yang dengannya hati seorang muslim akan bersih
(dari khianat, dengki dan keberkahan), yaitu melakukan sesuatu dengan
ikhlas karena Allah, menasihati ulil amri (penguasa), dan berpegang
teguh pada jama’ah kaum Muslimin, karena do’a mereka meliputi
orang-orang yang berada di belakang mereka.” Beliau bersabda,
“Barangsiapa yang keinginannya adalah negeri akhirat, Allah akan
mengumpulkan kekuatannya, menjadikan kekayaan di hatinya, dan dunia akan
mendatanginya dalam keadaan hina. Namun barangsiapa yang niatnya
mencari dunia, Allah akan mencerai-beraikan urusan dunianya, menjadikan
kefakiran di kedua pelupuk matanya, dan ia mendapat dunia menurut apa
yang telah ditetapkan baginya.” [27]
Seandainya keutamaan ilmu hanyalah ini saja, tentu sudah cukuplah hal
itu untuk menunjukkan kemuliaannya. Sebab, Nabi shallallaahu ‘alaihi wa
sallam berdo’a bagi orang yang mendengar sabda beliau, lalu memahaminya,
menghafalnya, dan menyampaikannya. Maka, inilah empat tingkatan ilmu:
Tingkatan pertama dan kedua, yaitu mendengar dan memahaminya. Apabila ia
mendengarnya, maka ia pun memahami dengan hatinya. Maksudnya,
memikirkan-nya dan menetapkannya di dalam hatinya sebagaimana
ditempatkannya sesuatu di dalam wadah yang tidak mungkin bisa keluar
darinya. Demikian juga akalnya yang laksana tali kekang unta, sehingga
ia tidak lari kesana-kemari. Wadah dan akal itu tidak mempunyai fungsi
lain selain untuk menyimpan sesuatu.
Tingkatan ketiga, yaitu komitmen untuk menghafal ilmu agar ilmu tidak hilang.
Tingkatan keempat, yaitu menyampaikan ilmu dan menyebarkannya kepada
ummat agar ilmu membuahkan hasilnya, yaitu tersebar luas di
tengah-tengah masyarakat.
Barangsiapa melakukan keempat tingkatan di atas, maka ia masuk dalam
do’a Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang mencakup keindahan fisik
dan psikis. Sesungguhnya kecerahan adalah hasil dari pengaruh iman,
kebahagiaan batin, kegembiraan hati dan kesenangannya, kemudian hal itu
menampakkan kecerahan, kebahagiaan, dan berseri-serinya wajah. Allah
Ta’ala berfirman:
تَعْرِفُ فِي وُجُوهِهِمْ نَضْرَةَ النَّعِيمِ
“Kamu dapat mengetahui dari wajah mereka kesenangan hidup mereka yang penuh kenikmatan.” [Al-Muthaffifiin: 24]
Jadi, kecerahan dan berseri-serinya wajah seseorang yang mendengar
Sunnah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, lalu memahami,
menghafal, dan menyampaikannya adalah hasil dari kemanisan, kecerahan,
dan kebahagiaan di dalam hati dan jiwanya. [28]
Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam mendo’akan perawi hadits dengan
kebaikan dan keelokan wajah, baik di dunia maupun di akhirat. Dikatakan
bahwa maknanya adalah Allah Ta’ala menyampaikannya pada kenikmatan
Surga.
Perawi hadits yang dido’akan oleh Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam
dengan keelokan wajah adalah perawi lafazh hadits, meskipun ia belum
memahami semua makna hadits. Betapa banyak orang yang membawa fiqih
kepada orang yang lebih faham daripadanya. Meskipun selamanya ia tidak
memiliki pemahaman terhadap hadits. Banyak pembawa fiqih yang tidak
memiliki pemahaman (yang memadai).
Ini menunjukkan tentang disyari’atkannya meriwayatkan hadits tanpa
(harus) memahaminya (terlebih dahulu). Bahkan hal ini menunjukkan
disukainya hal tersebut. Juga menunjukkan bahwa meriwayatkan hadits
tanpa pengetahuannya terhadap pemahaman hadits tersebut adalah perbuatan
terpuji, tidak tercela. Dengan perbuatan itu, ia berhak mendapatkan
do’a Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam. [29]
12. Menuntut Ilmu Adalah Jihad Di Jalan Allah Dan Orang Yang Menuntut Ilmu Laksana Mujahid Di Jalan Allah Ta’ala
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda,
مَنْ دَخَلَ مَسْجِدَنَا هَذَا لِيَتَعَلَّمَ خَيْرًا أَوْ لِيُعَلِّمَهُ
كَانَ كَالْـمُجَاهِدِ فِيْ سَبِيْلِ اللهِ، وَمَنْ دَخَلَهُ لِغَيْرِ
ذَلِكَ كَانَ كَالنَّاظِرِ إِلَى مَا لَيْسَ لَهُ.
“Barangsiapa yang memasuki masjid kami ini (masjid Nabawi) dengan tujuan
mempelajari kebaikan atau mengajarkannya, maka ia laksana orang yang
berjihad di jalan Allah Ta’ala. Dan barangsiapa yang memasukinya dengan
tujuan selain itu, maka ia laksana orang yang sedang melihat sesuatu
yang bukan miliknya.” [30]
Al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullaah mengatakan, “Jihad melawan hawa nafsu memiliki empat tingkatan:
Pertama: berjihad untuk mempelajari petunjuk (ilmu yang bermanfaat) dan
agama yang benar (amal shalih). Seseorang tidak akan mencapai kesuksesan
dan kebahagiaan di dunia dan akhirat kecuali dengannya.
Kedua: berjihad untuk mengamalkan ilmu setelah mengetahuinya.
Ketiga: berjihad untuk mendakwahkan ilmu dan mengajarkannya kepada orang yang belum mengetahuinya.
Keempat: berjihad untuk sabar dalam berdakwah kepada Allah Ta’ala dan
sabar terhadap gangguan manusia. Dia menanggung kesulitan-kesulitan
dakwah itu semata-mata karena Allah.
Apabila keempat tingkatan ini telah terpenuhi pada dirinya, maka ia termasuk orang-orang yang Rabbani. [31]
Abu Darda Radhiyallaahu ‘anhu mengatakan, “Barangsiapa berpendapat bahwa
pergi mencari ilmu tidak termasuk jihad, sungguh, ia kurang akalnya.”
[32]
Berjihad dengan hujjah (dalil) dan keterangan didahulukan atas jihad
dengan pedang dan tombak. Allah berfirman kepada Rasul-Nya shallallaahu
‘alaihi wa sallam agar berjihad dengan Al-Qur-an melawan orang-orang
kafir.
فَلَا تُطِعِ الْكَافِرِينَ وَجَاهِدْهُم بِهِ جِهَادًا كَبِيرًا
“Maka janganlah kamu mengikuti orang-orang kafir, dan berjihadlah
terhadap mereka dengan Al-Qur-an dengan jihad yang besar.” [Al-Furqaan:
52]
Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam diperintahkan berjihad melawan
orang-orang kafir dan munafik dengan cara menyampaikan hujjah (dalil dan
keterangan).
Imam Ibnul Qayyim rahimahullaah berkata, “Jihad dengan hujjah (dalil)
dan keterangan didahulukan atas jihad dengan pedang dan tombak.” [33]
12. Pahala Ilmu Yang Diajarkan Akan Tetap Mengalir Meskipun Pemiliknya Telah Meninggal Dunia
Disebutkan dalam Shahiih Muslim, dari Shahabat Abu Hurairah
Radhiyallaahu ‘anhu, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, beliau
bersabda,
إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلاَثٍ:
صَدَقَةٌ جَارِيَةٌ، وَعِلْمٌ يُنْتَفَعُ بِهِ، وَ وَلَدٌ صَالِحٌ يَدْعُو
لَهُ.
“Jika seorang manusia meninggal dunia, maka pahala amalnya terputus,
kecuali tiga hal: shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak
shalih yang mendo’akannya.” [34]
Hadits ini adalah dalil terkuat tentang keutamaan dan kemuliaan ilmu
serta besarnya buah dari ilmu. Sesungguhnya pahala ilmu tetap diterima
oleh orang yang bersangkutan selama ilmunya diamalkan orang lain.
Seolah-olah ia tetap hidup dan amalnya tidak terputus. Ini disamping
kenangan dan sanjungan yang dialamatkan kepadanya. Tetap mengalirnya
pahala untuk dirinya pada saat pahala amal perbuatan telah terputus dari
manusia adalah kehidupan kedua baginya.
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam hanya mengkhususkan ketiga hal
di atas yang pahalanya tetap diterima oleh si mayit karena ia (si
mayit) adalah penyebab keberadaan ketiga hal tersebut. Karena ia menjadi
sebab terbentuknya anak shalih, shadaqah jariyah, dan ilmu yang
bermanfaat, maka pahalanya tetap mengalir kepadanya. Seorang hamba
mendapatkan pahala karena tindakannya langsung atau tindakan yang
dilahirkan (tindakan tidak langsung) darinya. Kedua prinsip ini
disebutkan oleh Allah Ta’ala dalam firman-Nya,
“Yang demikian itu ialah karena mereka (para Mujahidin) tidak ditimpa
kehausan, kepayahan dan kelaparan pada jalan Allah. Dan tidak (pula)
menginjak suatu tempat yang membangkitkan amarah orang-orang kafir, dan
tidak menimpakan suatu bencana kepada musuh, kecuali (semua) itu akan
dituliskan bagi mereka sebagai suatu amal shalih. Sesungguhnya Allah
tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat baik.” [At-Taubah:
120]
Kesemua hal di atas lahir dari tindakan mereka dan tidak ditakdirkan
bagi mereka. Yang ditakdirkan bagi mereka ialah sebab-sebabnya yang
mereka lakukan secara langsung. Maksudnya, bahwa haus, payah, lapar, dan
membangkitkan amarah musuh bukanlah karena (sengaja) mereka lakukan
demikian, lalu ditulis jadi amal shalih. Akan tetapi, hal ini timbul
dari perbuatan mereka (yaitu jihad fi sabilillaah) karena itu ditulis
bagi mereka sebagai amal shalih. [35]
13. Dengan Menuntut Ilmu, Kita Akan Berfikir Yang Baik, Benar,
Mendapatkan Pemahaman Yang Benar, Dan Dapat Mentadabburi Ayat-Ayat Allah
‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz rahimahullaah mengatakan, “Memikirkan nikmat-nikmat Allah termasuk ibadah yang paling utama.” [36]
Tidak ada sesuatu yang lebih bermanfaat bagi hati daripada membaca
Al-Qur-an dengan tadabbur dan tafakkur. Karena hal itu mengumpulkan
semua kedudukan orang yang berjalan kepada Allah, keadaan orang-orang
yang mengamalkan ilmunya, dan kedudukan orang-orang yang bijaksana. Hal
inilah yang mewariskan rasa cinta, rindu, takut, harap, kembali kepada
Allah, tawakkal, ridha, penyerahan diri, syukur, sabar dan segala
keadaan yang dengannya hati menjadi hidup dan sempurna.
Seandainya manusia mengetahui apa yang terdapat dalam membaca Al-Qur-an
dengan tadabbur, maka ia akan lebih menyibukkan diri dengannya daripada
selainnya. Apabila ia melewati ayat yang dibutuhkannya untuk mengobati
hatinya, maka ia akan mengulang-ulangnya meskipun sampai seratus kali,
walaupun ia menghabiskan satu malam. Membaca Al-Qur-an dengan memikirkan
dan memahaminya lebih baik daripada membacanya sampai khatam tanpa
mentadabburi dan memahaminya, lebih bermanfaat bagi hati dan lebih
membantu untuk memperoleh keimanan dan merasakan manisnya Al-Qur-an.
Membaca Al-Qur-an dengan memikirkannya adalah pokok kebaikan hati. [37]
Al-Hasan al-Bashri rahimahullaah mengatakan, “Al-Qur-an diturunkan untuk
diamalkan, maka jadikanlah membacanya sebagai salah satu
pengamalannya.” [38]
14. Ilmu Lebih Baik Daripada Harta
Keutamaan ilmu atas harta dapat diketahui dari beberapa segi:
Pertama: Ilmu adalah warisan para Nabi, sedangkan harta adalah warisan para raja dan orang-orang kaya.
Kedua : Ilmu akan menjaga pemiliknya, sedangkan pemilik harta menjaga hartanya.
Ketiga : Ilmu adalah penguasa atas harta, sedangkan harta tidak berkuasa atas ilmu.
Keempat: Harta akan habis dengan dibelanjakan, sedangkan ilmu akan bertambah jika diajarkan.
Kelima: Apabila meninggal dunia, pemilik harta akan berpisah dengan
hartanya, sedangkan ilmu akan masuk bersamanya ke dalam kubur.
Keenam: Harta dapat diperoleh orang-orang mukmin maupun kafir, orang
baik maupun orang jahat. Sedangkan ilmu yang bermanfaat hanya dapat
diperoleh orang-orang yang beriman.
Ketujuh: Orang yang berilmu dibutuhkan oleh para raja dan selain mereka,
sedangkan pemilik harta hanya dibutuhkan oleh orang-orang miskin.
Kedelapan: Jiwa akan mulia dan bersih dengan mengumpulkan ilmu dan
berusaha memperolehnya -hal itu termasuk kesempurnaan dan kemuliaannya-
sedangkan harta tidak membersihkannya, tidak menyempurnakannya bahkan
tidak menambah sifat kemuliaan.
Kesembilan: Harta itu mengajak jiwa kepada bertindak sewenang-wenang dan
sombong, sedangkan ilmu mengajaknya untuk rendah hati dan melaksanakan
ibadah.
Kesepuluh: Ilmu membawa dan menarik jiwa kepada kebahagiaan yang Allah
ciptakan untuknya, sedangkan harta adalah penghalang antara jiwa dengan
kebahagiaan tersebut.
Kesebelas: Kekayaan ilmu lebih mulia daripada kekayaan harta karena
kekayaan harta berada di luar hakikat manusia, seandainya harta itu
musnah dalam satu malam saja, jadilah ia orang yang miskin, sedangkan
kekayaan ilmu tidak dikhawatirkan kefakirannya, bahkan ia akan terus
bertambah selamanya, pada hakikatnya ia adalah kekayaan yang paling
tinggi.
Kedua belas: Mencintai ilmu dan mencarinya adalah pokok segala ketaatan,
sedangkan cinta dunia dan harta dan mencarinya adalah pokok segala
kesalahan.
Ketiga belas: Nilai orang kaya ada pada hartanya dan nilai orang yang
berilmu ada pada ilmunya. Apabila hartanya lenyap, lenyaplah nilainya
dan tidak tersisa tanpa nilai, sedangkan orang yang berilmu nilai
dirinya tetap langgeng, bahkan nilainya akan terus bertambah.
Keempat belas: Tidaklah satu orang melakukan ketaatan kepada Allah
Ta'ala, melainkan dengan ilmu, sedangkan sebagian besar manusia berbuat
maksiat kepada Allah lantaran harta mereka.
Kelima belas: Orang yang kaya harta selalu ditemani dengan ketakutan dan
kesedihan, ia sedih sebelum mendapatkannya dan merasa takut setelah
memperoleh harta, setiap kali hartanya bertambah banyak, bertambah kuat
pula rasa takutnya. Sedangkan orang yang kaya ilmu selalu ditemani rasa
aman, kebahagiaan, dan kegembiraan.
Wallaahu a’lam. [39]
[Disalin dari buku Menuntut Ilmu Jalan Menuju Surga “Panduan Menuntut
Ilmu”, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka At-Taqwa,
PO BOX 264 – Bogor 16001 Jawa Barat – Indonesia, Cetakan Pertama
Rabi’uts Tsani 1428H/April 2007M]
_______
Footnote
[1]. Al-‘Ilmu Fadhluhu wa Syarafuhu (hal. 21).
[2]. Hasan lighairihi: Diriwayatkan oleh al-‘Uqaily dalam
adh-Dhu’afaa-ul Kabir (I/26), Ibnu Abi Hatim dalam al-Jarh wat Ta’dil
(II/17) dan lainnya, dari Ibrahim bin ‘Abdurrahman al-‘Adzry secara
mursal. Untuk lebih jelas tentang takhrij hadits ini dapat dilihat dalam
Irsyaadul Fuhuul fii Tashhiih Hadiitsil ‘Udul (hal. 11-35) karya Syaikh
Abu Usamah Salim bin ‘Ied al-Hilali.
[3]. Al-‘Ilmu Fadhluhu wa Syarafuhu (hal. 26).
[4]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Muslim (no. 817).
[5]. Dinukil dari al-‘Ilmu Fadhluhu wa Syarafuhu (hal. 220-221).
[6]. Al-‘Ilmu Fadhluhu wa Syarafuhu (hal. 223).
[7]. Al-‘Ilmu Fadhluhu wa Syarafuhu (hal. 238-239), dengan ringkas.
[8]. Diriwayatkan oleh ath-Thabrani dalam al-Kabir (no. 8927) dan Ibnu ‘Abdil Barr dalam al-Jaami’ (II/812, no. 1514).
[9]. Fadhlu ‘Ilmi Salaf ‘alal Khalaf (hal. 52).
[10]. Al-‘Ilmu Fadhluhu wa Syarafuhu (hal. 30).
[11]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Ahmad (IV/131), Abu Dawud (no.
4604), Ibnu Hibban (no. 12) dan lainnya, dari Miqdam bin Ma’di Kariba
radhiyallaahu ‘anhu.
[12]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Ahmad (I/306, II/234, IV/92, 95,
96), al-Bukhari (no. 71, 3116, 7312), dan Muslim (no. 1037), dari
Shahabat Mu’awiyah bin Abi Sufyan radhiyallaahu ‘anhuma.
[13]. Al-‘Ilmu Fadhluhu wa Syarafuhu (hal. 49).
[14]. Syarah Shahiih Muslim lil Imam an-Nawawi (VII/128).
[15]. Hadits hasan: Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi (no. 2322), Ibnu Majah
(no. 4112), dan Ibnu ‘Abdil Barr (I/135, no. 135), dari Shahabat Abu
Hurairah radhiyallaahu ‘anhu. Lihat Shahiih at-Targhib wat Tarhiib (no.
74). Lafazh ini milik at-Tirmidzi.
[16]. Hadits hasan: Diriwayatkan oleh ath-Thabrani dalam Mu’jamul Ausath
(no. 3972) dan al-Bazzar dari Hudzaifah bin al-Yaman radhiyallaahu
‘anhu, dihasankan oleh Syaikh al-Albani dalam Shahiih at-Targhiib wat
Tarhiib (no. 68), lihat juga Jaami’ Bayaanil ‘Ilmi wa Fadhlihi (I/106,
no. 96).
[17]. Al-‘Ilmu Fadhluhu wa Syarafuhu (hal. 133).
[18]. Diriwayatkan oleh al-Khathib dalam al-Faqiih wal Mutafaqqih (I/102, no. 52).
[19]. Al-‘Ilmu Fadhluhu wa Syarafuhu (hal. 133).
[20]. Jaami’ Bayaanil ‘Ilmi wa Fadhlihi (I/120, no. 113).
[21]. Jaami’ Bayaanil ‘Ilmi wa Fadhlihi (I/211, no. 227).
[22]. Al-‘Ilmu Fadhluhu wa Syarafuhu (hal. 135).
[23]. Al-‘Ilmu Fadhluhu wa Syarafuhu (hal. 141) dan Jaami’ Bayaanil ‘Ilmi wa Fadhlihi (I/229-230, no. 252 dan 253).
[24]. Jaami’ Bayaanil ‘Ilmi wa Fadhlihi (I/230, no. 254).
[25]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Imam Ahmad (IV/230-231),
at-Tirmidzi (no. 2325), Ibnu Majah (no. 4228), al-Baihaqi (IV/ 189),
al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah (XIV/289), dan ath-Thabrani dalam
Mu’jamul Kabir (XXII/345-346, no. 868-870), dari Shahabat Abu Kabsyah
al-Anmari radhiyallaahu ‘anhu. Lihat Shahiih Sunan at-Tirmidzi (II/270,
no. 1894).
[26]. Al-‘Ilmu Fadhluhu wa Syarfuhu (hal. 252-253).
[27]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Ahmad (V/183), ad-Darimi
(I/75), Ibnu Hibban (no. 72, 73-Mawaarid), Ibnu ‘Abdil Barr dalam Jaami’
Bayaanil ‘Ilmi wa Fadhlihi (I/175-176, no. 184), lafazh hadits ini
milik Imam Ahmad, dari ‘Abdurrahman bin Aban bin ‘Utsman radhiyallaahu
‘anhum. Lihat Silsilah al-Ahaadiits ash-Shahiihah (no. 404) dan al-‘Ilmu
Fadhluhu wa Syarafuhu (hal. 70-74).
[28]. Al-‘Ilmu Fadhluhu wa Syarfuhu (hal. 70-72).
[29]. Lihat Nashaa-ih Manhajiyyah li Thaalibis Sunnah an-Nabawiyyah (hal. 38-39).
[30]. Hadits hasan: Diriwayatkan oleh Ibnu Hibban (no.
87-at-Ta’liiqaatul Hisaan), Ibnu Majah (no. 227), Ahmad (II/350,
526-527), Ibnu Abi Syaibah (no. 33061), dan al-Hakim (I/91), dari Abu
Hurairah radhiyallaahu ‘anhu.
[31]. Zaadul Ma’aad fii Hadyi Khairil ‘Ibaad (III/10). Lihat Syarah
Tsa-latsatil Ushuul (hal. 25-26), karya Syaikh Muhammad bin Shalih
al-‘Utsaimin rahimahullaah.
[32]. Al-‘Ilmu Fadhluhu wa Syarafuhu (hal. 145).
[33]. Syarah Qashidah Nuuniyyah (I/12) oleh Syaikh Muhammad Khalil Hirras.
[34]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Muslim (no. 1631), al-Bukhari
dalam Adabul Mufrad (no. 38), Abu Dawud (no. 2880), an-Nasa-i (VI/251),
at-Tirmidzi (no. 1376), Ahmad (II/372), al-Baihaqi (VI/ 278), lafazh ini
milik at-Tirmidzi. Lihat Irwaa-ul Ghaliil (no. 1580).
[35]. Lihat al-‘Ilmu Fadhluhu wa Syarafuhu (hal. 242-243).
[36]. Al-‘Ilmu Fadhluhu wa Syarafuhu (hal. 254).
[37]. Al-‘Ilmu Fadhluhu wa Syarafuhu (hal. 262).
[38]. Al-‘Ilmu Fadhluhu wa Syarafuhu (hal. 263).
[39]. Lihat kitab al-‘Ilmu Fadhluhu wa Syarafuhu (hal. 160-163).
Jumat, 09 Maret 2012
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar