Kamis, 29 Maret 2012

Hidayah Allah di Perut Laut




            Saya seorang pemuda yang pernah beranggapan bahwa kehidupan hanyalah harta yang banyak, kasur yang empuk, kendaraan mewah, dan kesenang-kesenangan yang lainnya. Nah, berikut ini saya sampaikan kisah perjalanan hidup saya, karena siapa tahu menyadarkan orang yang lalai sebelum terlambat.
               Hari itu hari Jum’at, seperti biasanya saya bersenang-senang dan bermain bersama teman-teman di tepi pantai. Tetapi, siapa mereka? Mereka adalah sekumpulan hati yang lalai. Saya mendengar suara memanggil, Hayya ‘Alash-shalah. Hayya ‘Alal Falah. Saya bersumpah demi Allah Yang Maha Agung, bahwa saya mendengar adzan sepanjang hidup saya, namun saya tidak pernah memahami arti kata falah (keberuntungan). Seolah-olah kata itu diucapkan dengan bahasa lain (non-arab). Padahal, saya adalah orang Arab dan bahasa saya adalah bahasa Arab. Akan tetapi, itulah sebuah kelalaian. Saat adzan berlangsung, saya dan teman-teman sedang menyiapkan perlengkapan menyelam dan selang udara. Kami bersiap-siap untuk melakukan wisata yang indah di bawah air. Di dalam benak saya terbayang susunan acara selanjutnya pada hari ini yang setiap detiknya tidak lepas dari maksiat. Na’udzubillah!

               Nah, sekarang kami berada di dalam perut laut. Maha Suci Tuhan Yang Maha Pencipta pada apa yang Dia ciptakan untuk saya. Segala sesuatunya sesuai dengan keinginan. Saya sudah memulai wisata yang indah, tetapi tiba-tiba terjadi sesuatu yang tidak pernah saya bayangkan. Potongan karet yang menutupi mulut penyelam agar tidak kemasukan air dan untuk menyalurkan udara dari selang, rusak saat udara masuk ke dalam paru-paru saya. Dan, tiba-tiba tetesan air asin menutup saluran pernafasan saya. Saya merasa seperti sudah mati.
               Paru-paru saya mulai sesak. Udara yang selama ini masuk ke dalam perut saya, tanpa saya pahami merupakan salah satu karunia terindah yang diberikan Allah kepada saya. Saya mulai menyadari gawatnya keadaan yang tidak ada seorang pun iri kepada saya. Saya mulai menarik nafas dan saya pun tersedak dengan air asin. Pita hidup saya mulai berkelabatan di depan mata saya.
               Bersamaan dengan tarikan nafas yang pertama, saya menyadari betapa lemahnya manusia. Dan saya juga menyadari bahwa saya tidak berdaya menghadapi tetesan air yang ditugaskan oleh Allah agar menyerang saya, untuk memperlihatkan kepada saya bahwa Dialah Yang Maha Perkasa. Bahwa, tidak ada pelarian dari Dia selain kepada-Nya. Saya berada di kedalaman yang amat jauh.
               Lalu dengan tarikan nafas kedua, saya teringat shalat Jum;at yang selalu diabaikan. Saya teringat Hayya ‘Alal Falah. Jangan heran bila saya katakan kepada anda bahwa hanya pada saat itulah saya memahami arti kata falah (keberuntungan). Tapi, sayang sekali, itu sudah terlambat Betapa besar penyesalan saya terhadap setiap sujud yang saya abaikan. Betapa pedih hati saya mengenang setiap detik yang saya habiskan untuk maksiat kepada Allah.
               Pada tarikan nafas ketiga, saya teringat ibu saya. Saya diliputi ketakutan dan kesedihan yang mencabik-cabik hati ibu saya. Saya membayangkan ibu saya menangisi kematian anak tunggalnya yang sangat dicintainya, dan bagaimana nasibnya sepeninggal saya.
               Saat tarikan keempat, saya teringat dosa-dosa dan kesalahan saya. Oh, betapa banyaknya. Saya teringat kesombongan dan keangkuhan saya. Saya mulai mencoba mencari keselamatan dan kemenangan dengan detik terakhir yang tersisa untuk saya. Karena saya pernah mendengar bahwa barangsiapa mengakhiri hidupnya dengan membaca Asyhadu Allaa Ilaaha Illallaah wa Asyhadu Anna Muhammadar Rasulullah, maka ia akan masuk surga.
               Saya mulai mencoba mengucapkan dua kalimat syahadat. Saat saya membaca Asyha… tenggorokan saya langsung tersedak. Seolah-olah ada tangan ghaib yang menutup tenggorokan saya agar tidak bisa mengucapkan kalimat itu. Saya kembali mencoba dan berusaha keras. Asyha… Asyha… dan hati saya mulai menjerit, “Tuhanku! Kembalikan aku! Tuhanku! Kembalikan aku! Satu jam, satu menit, satu detik. Namun terasa jauh sekali kemungkinan itu.
               Saya mulai mati rasa. Saya diliputi kegelapan yang aneh. Saya kehilangan kesadaran. Saya mulai mengetahui akhir hayat saya. Oh, kasihan sekali akhir hayat seperti ini. Na’udzubillah !
               Kisah ini sangat menyedihkan. Namun, rahmat Tuhanku meliputi segala sesuatu. Tiba-tiba udara mulai merasuk kembali ke dalam dada saya. Kegelapan itu pun sirna. Mata saya terbuka lalu saya melihat pelatih selam saya memegang saya sambil menancapkan selang udara di mulut saya. Dia berusaha menyadarkan saya saat masih berada di dalam perut laut. Saya melihat seulas senyum di wajahnya, lalu saya pun mengerti bahwa saya baik-baik saja. Hati saya, lidah saya, setiap sel yang ada di tubuh saya, dan ruh saya mengucapkan, Asyhadu Allaa Ilaaha Illallah wa Asyhadu Anna Muhammadar Rasulullah. Alhamdulillah! Alhamdulillah! Tiba-tiba hati saya berkata, “Tuhanku menyayangimu karena doa ibumi untukmu. Maka, jadikanlah ini sebagai pelajaran”.
               Saya keluar dari air sebagai sosok yang lain. Saya benar-benar kata ‘lain’. Pandangan saya terhadap kehidupan pun berubah menjadi sesuatu yang lain. Sekarang alhamdulillah, saya adalah pemuda yang sangat berharap kepada Tuhan Yang Maha Esa lagi Maha Perkasa agar berkenan mengakhiri hidupnya dengan membaca, Asyhadu Allaa Ilaaha Illallah wa Asyhadu Anna Muhammadar Rasulullah, saat nafas bergetar di tenggorokan yang saya ketahui dengan baik. Seorang pemuda yang ingin menjadi bagian dari orang-orang yang disebut oleh Allah di dalam kitab suci-Nya yang mulia, “Maka datanglah sesudah mereka, pengganti yang menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsunya, maka mereka kelak akan menemui kesesatan. Kecuali orang yang bertaubat, beriman dan beramal shaleh, maka mereka itu akan masuk Surga dan tidak dianiaya sedikit pun. Yaitu Surga ‘And yang telah dijanjikan oleh Tuhan Yang Maha Pemurah kepada hamba-hamba-Nya sekalipun tidak nampak. Sesungguhnya janji Allah itu pasti akan ditepati”. (QS. Maryam:59-61).
               Beberapa waktu setelah kejadian itu saya kembali ke pantai itu seorang diri. Di dalam perut laut itu saya bersujud kepada Allah sebagai ungkapan syukur, tunduk, dan untuk mengenang karunia-Nya. Saat sujud di tempat yang saya kira belum ada orang yang pernah sujud kepada Allah di sana. Mudah-mudahan tempat itu menjadi saksi bagi saya kelak di Hari Kiamat. Kemudian Allah akan memberikan belas kasih-Nya kepada saya karena sujud saya di dalam perut laut tersebut dan memasukkan saya ke dalam Surga-Nya. Allahumma Amin.
               Ketenangan adalah buah dari keta’atan dan kecintaan. Setiap orang yang taat kepada Allah akan merasa tenang. Dan setiap orang yang durhaka kepada Allah akan merasa resah.

1 komentar:

Abu Umair mengatakan...

Sykran..

Posting Komentar