Perbedaan Antara Nasehat Dan Ghibah
Telah
banyak buku-buku yang menjelaskan tentang ghibah dan keharamannya dilengkapi
dengan dalil-dalil dari Al-Qur'an dan As-Sunah yang shahih, maka sekarang
penyusun hanya akan menukilkan apa-apa yang diperbolehkan dari ghibah,
khususnya point yang keempat, yaitu dalam rangka memberi nasehat, dan
penjelasan ulama mengenai perbedaan antara nasehat dan ghibah.
Imam
Nawawi rahimahullah berkata.
"Ketahuilah
bahwasanya ghibah diperbolehkan untuk tujuan yang benar dan syar'i, di mana
tidak mungkin sampai kepada tujuan tersebut, kecuali dengan cara berghibah,
yang demikian itu disebabkan enam perkara :
Yang
keempat, dalam rangka memberi peringatan kepada kaum muslimin dari keburukan
dan dalam rangka memberi nasehat kepada mereka, dan yang demikian itu dalam
kondisi-kondisi berikut ini.
Di
antaranya, dalam rangka menjarh (meyebutkan cacat) para majruhin (orang-orang
yang disebutkan cacatnya) dari para rawi hadits dan saksi, dan yang demikian
itu diperbolehkan berdasarkan ijma' kaum muslimin, bahkan bisa menjadi wajib
hukumnya.
Dan
di antaranya pula dalam rangka musyawarah yang berhubungan dengan ikatan tali
perkawinan dengan seseorang, atau dalam hal kerjasama, atau dalam hal titipan
kepada seseorang, atau bergaul, atau dalam hal bertetangga dengannya, atau
dalam hal lainnya, dan wajib atas orang yang diajak untuk bermusyawarah untuk terus
terang menyebutkan keadaan orang tersebut dan tidak boleh ia menyembunyikannya,
bahkan ia harus menyebutkan kekurangan yang ada padanya dengan niat untuk
memberi nasehat.
Dan
di antaranya, apabila ia melihat seorang penuntut ilmu mondar-mandir mendatangi
majelis ahli bid'ah, atau seorang yang fasik, dan menimba ilmu darinya, maka
dia takut kalau-kalau si penuntut ilmu tersebut terpengaruh dan berakibat
negatif kepadanya, maka ia harus menasehatinya dengan menjelaskan keadaan ahli
bid'ah atau orang fasik tersebut, dengan syarat semata-mata maksudnya adalah
nasehat, dan ini termasuk dari apa-apa yang disalahgunakan padanya. Karena
terkadang yang mendorong si pembicara tadi untuk berbicara adalah faktor hasad,
dan ini adalah perangkap iblis kepada orang tersebut, dikhayalkan kepadanya
bahwa yang ia sampaikan adalah nasehat, hendaklah hal ini diperhatikan dengan
baik.
Dan
di antaranya, apabila seorang yang memiliki kedudukan dalam pemerintahan,
sedang ia tidak menjalankan tugas sebagaimana mestinya, bisa disebabkan karena
memang ia tidak pantas menduduki jabatan tersebut, atau karena ia itu adalah
orang yang fasik atau ia orang yang lalai, dan yang semacamnya, maka wajib
untuk memberitahukan hal ini kepada atasan orang tadi agar atasan tersebut
memecatnya dan menggantikannya dengan orang yang pantas, atau atasan yang
mengetahui ketidakberesan bawahannya ia dapat membuat kebijaksanaan yang adil
sesuai dengan kondisi bawahannya, serta ia berusaha untuk memberi motivasi
kepadanya agar tetap istiqamah, selalu berjalan di atas relnya atau kalau
memang tidak bisa, ia menggantikannya dengan orang lain."[1]
Setelah
beliau menyebutkan enam point dari hal-hal yang diperbolehkan untuk berbuat
ghibah, lalu beliau mengemukakan dalil-dalilnya yang masyhur dari hadits-hadits
yang shahih, di antaranya adalah:
Dari
Aisyah radhiyallahu 'anha, bahwa seseorang meminta izin untuk masuk menemui
Nabi shalallahu 'alaihi wasallam, maka beliau berkata, "Izinkanlah dia
untuk masuk, ia sejahat-jahat orang di tengah kaumnya." [Muttafaq 'Alaih]
[2]
Dan
dari Fathimah binti Qais radhiyallahu 'anha, ia berkata: Saya mendatangi Nabi
shalallahu 'alaihi wasallam, maka aku berkata, "Sesungguhnya Abul Jahm dan
Mu'awiyah, keduanya telah meminangku?" Maka Rasulullah shalallahu 'alaihi
wasallam menjawab, "Adapun Mu'awiyah dia seorang faqir tidak memiliki
harta, sedangkan Abul Jahm, tongkatnya tidak pernah lepas dari bahunya."
Dan
dalam riwayat Muslim (lainnya), "Sedangkan Abul Jahm sering memukul
wanita."
Kalimat
tersebut merupakan penjelasan dari riwayat "Ia tidak melepaskan tongkat
dari bahunya." Dan dikatakan bahwa maknanya: sering mengadakan bepergian
(safar)." [3]
Syaikh
Salim Al-Hilali menyatakan dalam kitabnya Bahjatun Naazhirin Syarah Riyadhus
Shalihin.
"Hadits
ini dikeluarkan oleh Muslim (1480).
Perhatian:
Hadits ini tidak dikeluarkan oleh Al-Bukhari, sebagaimana telah ditulis dan
diingatkan oleh para huffazh."[4]
Syaikh
Salim Al-Hilali menyebutkan juga dalam kitab yang sama:
"Al-Imam
Asy-Syaukani rahimahullah telah mengulas ucapan Imam Nawawi tentang enam point
dari hal-hal yang diperbolehkan untuk berghibah, pent) dalam suatu risalah yang
beliau beri nama Raf'ur Raibah 'ammaa yajuzu wa maa laa yajuzu minal ghibah,
dan sekarang ini saya menyebutkan apa-apa yang nampak olehku sisi kebenaran
dalamnya.
Asy
Syaukani berkata.
"Dan
saya berkata dengan memohon pertolongan Allah dan bertawakal kepadanya sebelum
berbicara mengenai bentuk-bentuk yang ada ini. Ketahuilah, bahwa kami telah
mengemukakan bahwa pengharaman ghibah terdapat dengan jelas dalam Al-Qur'an,
As-Sunnah dan Ijma', dan konteks yang terdapat dalam Al Qur'an dan As-Sunnah
secara umum dan menyeluruh mempunyai konsekuensi pengharaman ghibah dari setiap
individu dari pribadi-pribadi kaum muslimin kepada setiap individu dari mereka
pula, maka tidak boleh ada pendapat yang menghalalkan ghibah dalam tempat
tertentu bagi pribadi atau masyarakat, kecuali dengan membawa dalil yang
mengkhususkan keumuman pengharaman ini, apabila dalil tersebut telah tegak atas
yang demikian maka itulah yang diharapkan, dan apabila tidak didapati dalil
maka itu berarti berdusta atas nama Allah, dan termasuk menghalalkan apa-apa
yang
Allah
haramkan tanpa keterangan dari Allah" [5]
Saya
(Syaikh Salim) berkata pula:
"Apa
yang disebutkan oleh Asy-Syaukani merupakan kriteria yang penting di mana ia
memberikan rambu-rambu yang agung, di antaranya
[a].
Bahwa kebolehan dari berbuat ghibah merupakan perkecualian disebabkan keadaan
tertentu, apabila sebab tersebut telah hilang maka hukum tadi kembali kepada
asalnya, yaitu pengharaman ghibah.
[b].
Bahwa kebolehan ini sebagai suatu keterpaksaan, sehingga harus dibatasi sesuai
dengan batasannya, maka tidak boleh dengan seenaknya secara leluasa dalam hal
perkecualian ini, tetapi bagi yang terpaksa dalam rangka memberikan nasehat,
maka hendaklah ia bertaqwa kepada Allah Rabbnya dan janganlah sekali-kali ia
menjadi orang yang melampaui batas..
Dan
apa yang disebutkan oleh An-Nawawi merupakan praktek dari kaidah
"mengutamakan maslahat yang jelas adanya atas mafsadah yang belum tentu
muncul", dan ini merupakan kaidah yang besar dari maksud-maksud
syari'at."[6]
Syaikh
Salim Al-Hilali mengatakan pula:
"Saya
berkata: Apabila nasehat itu dilontarkan secara global sudah mencapai sasaran
dan terang maksudnya maka cukup dengan global dan hal itu merupakan suatu
kenikmatan, tetapi kalau tidak cukup dengan global maka tidak ada jalan lain
bagi dia kecuali harus dengan menyebutkan orangnya, tetapi harus ada batasannya
tidak boleh seenaknya dengan leluasa sehingga keluar batas dalam berbicara
karena berlebih-lebihan dalam berbicara itu merupakan batu sandungan yang
membuat ia terjatuh."[7]
FAEDAH
Syaikh
Husein Al-Awaisyah dalam sebuah bukunya menuliskan sebuah bab yang artinya,
"Perkara-perkara yang disangka bukan ghibah, tetapi sebenarnya termasuk
ghibah", di antaranya beliau menyebutkan dalam point yang kedelapan,
"Dan
barangkali Allah memberi keutamaan kepada seseorang dalam hal amar ma'ruf nahi
munkar, di mana tidak sembarang orang dapat menasehati orang lain lebih-lebih
kalau orang yang dinasehati tersebut sulit untuk menerima nasehat, kemudian
orang tersebut menerima nasehatnya dengan jujur dan ikhlas, dan nampak dari dia
keinginan yang kuat untuk bertaubat, akan tetapi si penasehat tersebut
nampaknya lemah dalam menghadapi syetan, tiba-tiba ia menceritakan aib orang
tersebut di hadapan manusia, "Si fulan melakukan ini dan itu, si fulan
berbuat demikian, kemudian saya menasehatinya."
Faktor
apalagi kalau bukan mengikuti hawa nafsu dan cinta berbuat ghibah yang
mendorong orang tersebut menyampaikan cerita tadi di hadapan manusia?!
Bukankah
tujuan amar ma'ruf nahi munkar agar yang ma'ruf tersebar diantara manusia, dan
yang mungkar menjadi mati tak berkutik ?! Kalau begitu mengapa disertai dengan
pembicaraan dan komentar, padahal tujuan telah tercapai?! Ataukah sudah
berbalik, sehingga orang yang mengajak kepada yang ma'ruf telah diperintah oleh
syetan, dan orang yang melarang kemungkaran, ia sendiri terjerumus kedalam
kemungkaran."[8]
Al-Imam
Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah rahimahullah berkata:
"Dan
perbedaan antara nasehat dan ghibah adalah bahwa nasehat itu bermaksud dalam
rangka memberi peringatan kepada seorang muslim dari bahayanya ahli bid'ah,
penyebar fitnah, penipu, atau perusak..."
Sampai
beliau berkata:
"Maka
apabila menceritakan kejelekan orang lain dalam rangka nasehat yang diwajibkan
oleh Allah dan RasulNya kepada hamba-hambanya kaum muslimin maka hal yang
demikian adalah taqarub kepada Allah, termasuk amal kebaikan , tetapi apabila
menceritakan kejelekan orang lain bermaksud mencela saudaramu dan menodai
kehormatan dan memakan dagingnya agar engkau menyia-nyiakan kedudukan dia di
hati-hati manusia maka maksiat tersebut merupakan penyakit yang kronis dan api
yang melalap kebaikan sebagaimana api yang membakar kayu bakar."[9]
Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata:
"Menyebutkan
kejelekan manusia dengan apa-apa yang tidak disukai oleh mereka pada asalnya
ada dua macam.
Pertama
: Menyebutkan perbuatannya.
Kedua
: Menyebutkan orangnya yang tertentu, baik ia masih hidup ataupun telah
meninggal dunia.
Yang
pertama, setiap macam perbuatan yang dicela oleh Allah dan RasulNya, maka
seorang muslim wajib mencelanya pula, dan hal yang demikian bukanlah termasuk
perbuatan ghibah, sebagaimana setiap macam perbuatan yang dipuji oleh Allah dan
RasulNya, maka wajib ia memujinya pula ..." [10]
Sampai
beliau berkata:
"Apabila
tujuannya adalah mengajak kepada kebaikan dan menganjurkannya, serta melarang
keburukan dan memperingatkan darinya, maka harus menyebutkan keburukan
perbuatan tersebut. Oleh karena itu, Nabi shalallahu 'alaihi wasallam. Apabila
mendengar seseorang melakukan pelanggaran, beliau shalallahu 'alaihi wasallam
bersabda.
"Mengapakah
orang-orang memberikan syarat-syarat yang tidak ada pada kitab Allah ?
Barangsiapa memberikan syarat yang tidak ada pada kitab Allah, maka dia itu
batil, meskipun seratus syarat."[11]
"Mengapakah
orang-orang meninggalkan hal-hal yang aku perbolehkan? Demi Allah, sesungguhnya
aku orang yang paling bertaqwa kepada Allah dan yang paling tahu akan
batasan-batasannya di antara kalian." [12]
"Mengapakah
orang-orang ada satu di antaranya mengatakan, "Adapun saya akan selalu
berpuasa tidak akan berbuka," dan ada lainnya mengatakan, "Adapun saya
akan selalu bangun malam tidak akan tidur," dan orang lainnya berkata,
"Saya tidak akan menikahi wanita," dan yang lainnya mengatakan,
"Saya tidak akan makan daging." Tetapi saya sendiri berpuasa dan
berbuka, bangun malam dan tidur, menikahi wanita, makan daging, maka
barangsiapa yang benci terhadap sunnahku, maka bukanlah ia termasuk
golonganku."[13]
Sampai
beliau berkata:
"(Yang
kedua), sedangkan menyebutkan keburukan orang lain, sekaligus menyebutkan
orangnya dapat dilakukan dalam beberapa kejadian tertentu.
Di
antaranya orang yang dizalimi, maka ia berhak menyebutkan orang yang
menzaliminya, baik dalam rangka menolak kezalimannya ataupun untuk mendapatkan
haknya, sebagaimana Hindun berkata, "Wahai Rasulullah! Sesungguhnya Abu
Sufyan seorang yang pelit, ia tidak memberikan kecukupan nafkah kepadaku dan
anakku, (kecuali saya mengambil harta darinya tanpa sepengetahuan dia, maka
baru mencukupi kami)," maka beliau menjawab, "Ambillah apa-apa yang
mencukupimu dan anakmu secukupnya."[14] [Muttafaq alaih]
Sampai
beliau berkata:
"Dan
di antaranya dalam rangka memberi nasehat kepada kaum Muslimin dalam urusan
dien dan dunia mereka sebagaimana dalam Hadits yang shahih dari Fatimah binti
Qais ketika dia bermusyawarah dengan Nabi shalallahu 'alaihi wasallam tentang
siapa yang akan dinikahinya ia berkata, "Abu Jahm dan Muawiyah telah
meminang saya." Maka beliau memberikan nasehat, "Adapun Muawiyah dia
orang yang faqir tidak memiliki harta, sedangkan Abu Jahm ia seorang yang suka
memukuli wanita" dan diriwayatkan "ia tidak pernah meletakkan tongkat
dari bahunya", maka beliau menjelaskan kepadanya bahwa yang satu fakir,
mungkin tidak mampu memenuhi hakmu, dan yang satu lagi menyakitimu dengan
pukulan. Dan yang seperti ini adalah nasehat kepadanya - meskipun mencakup penyebutan
aib si peminang -.
Dan
termasuk juga di dalamnya, nasehat kepada seseorang mengenai orang yang akan
diajak kerjasama, yang akan ia beri wasiat kepadanya, dan yang akan menjadi
saksi bagi dia, bahkan orang yang akan menjadi penengah urusan dia, dan yang
semisalnya.
[Disalin
dari buku Fikih Nasehat, Penyusun Fariq Bin Gasim Anuz, Cetakan Pertama,
Sya'ban 1420H/November 1999. Penerbit Pustaka Azzam Jakarta. PO BOX 7819 CC
JKTM]
__________
Foote
Note
[1].
Riyadhus Shalihin, hal. 525-526
[2].
Ibid, no. 1539
[3].
Ibid, no. 1541
[4].
Bahjatun Naazhirin, Juz 3, hal.51
[5].
Ibid, Juz 3, hal. 35-36
[6].
Ibid, Juz 3, hal.35-36
[7].
Ibid, Juz 3, hal.46
[8]
"Al-Ghibah wa Atsaruha As-Sayyi fil Mujtama'Al-Islami" hal.58
[9].
Ar-Ruuh, hal 357-358
[10].
Majmu'Fatawa juz 28 hal.225
[11].
Pentakhrij Majmu'atul Fatawa berkata, "H.R. Bukhari dalam Al-Mukatab
(2563) dari Aisyah."
[12].
Pentakhrij Majmu'atul Fatawa berkata, "H.R. Bukhari dalam kitab
Al-I'tisham (7301) dari Aisyah dengan lafadz yang mendekati."
[13].
Pentakhrij Majmu'atul Fatawa berkata, "H.R. Bukhari dalam kitab An-Nikah
(5062) dan H.R.Muslim dalam kitab An-Nikah (1401/5)."
[14].
Majmu Fatawa, juz 28, hal 229
0 komentar:
Posting Komentar